Selamat datang di laman resmi IPKEMINDO

Membangun Rumah Pengharapan, Merajut Asa Restoratif

By Udik Fajar
Bagikan konten ini

I have a dream that we won’t have to talk about ‘restorative justice’ because it will be understood that true justice is about restoration, and about transformation – Howard Zehr

Dalam perjalanan sejarah, Indonesia telah lama menggunakan model keadilan retributif. Pendekatan model keadilan tersebut cenderung memberikan sanksi dan deraan (deterrence) terhadap pelanggar hukum. Konsentrasi utama masih terletak pada penuntutan pelaku kejahatan. Pemulihan keadaan korban dan penggantian kerugian masih sering terabaikan.

Secara historis, penghukuman pelaku kejahatan di Indonesia awal mulanya dilandaskan pada hukum aturan yang diwariskan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Hukum aturan tersebut dilafalkan dalam Bahasa Belanda dengan nama “Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsh–Indie”  yang kemudian diundangkan dalam bentuk lembar negara yang disebut “Staatsblad”. Selepas Indonesia merdeka, tepatnya pada tanggal 26 Februari 1946, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang–undang tersebut menjadi dasar yang mengubah “Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsh – Indie” menjadi “Wetboek Van Strafrecht (WvS)” atau yang kita kenal dengan nama “Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP)”.

Menapaki Jejak Panjang Transformasi Pidana

Seiring berjalannya waktu, KUHP adaptasi pemerintah kolonial Hindia–Belanda ini dirasa lebih banyak mendukung atmosfer pembalasan dendam. Hal ini tercermin dari pelanggaran–pelanggaran tindak pidana yang lebih cenderung diselesaikan melalui jalur penghukuman. Kecenderungan tersebut menyebabkan masyarakat terbiasa melampiaskan kemarahannya dengan cara mengazab. Masyarakat terlena bahwa hal yang lebih penting dalam setiap peristiwa tindak pidana adalah memulihkan keadaan korban. Bahkan pihak korban pun merasakan kepuasan tersendiri ketika pelaku didera. Pihak korban lengah bahwa kerugian yang dideritanya tidak ada yang menanggung selain dirinya sendiri. 

Kebencian korban terhadap pelaku tindak pidana sejatinya merupakan beban yang terlampau berat untuk ditanggung. Kebencian melukai si pembenci lebih dari pihak yang dibencinya. Bisa saja pelaku telah mendapatkan hukumannya dan kemudian bebas, tetapi tidak jarang pada akhirnya korban tetap merasa tidak puas karena hasrat membalas dendam yang terlampau tinggi. Tanpa perdamaian, kehidupan hanya akan ditunggangi oleh siklus kebencian dan pembalasan tiada akhir. 

Dalam rangka memutus mata rantai kebencian tanpa ujung, perlu adanya gerak langkah sistematis yang diinisiasi oleh penyelenggara negara. Salah satu bentuknya adalah atmosfer keadilan restoratif yang dimanifestasikan dalam bentuk peraturan perundang–undangan. Setelah lebih dari satu abad lamanya Indonesia menggunakan KUHP syarat punitif, pemerintah eksekutif dan legislatif pun sepakat untuk mengesahkan Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.

Terang sekali bahwa KUHP baru tersebut lebih mengakomodir semangat keadilan restoratif. Salah satu bentuknya tertuang pada Pasal 54 yang menegaskan bahwa dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban. Tentu saja pemaafan tersebut terjadi apabila fokus penyelesaian perkara pidana lebih ditekankan pada pemulihan keadaan korban dan penghindaran pembalasan dendam. 

Hukuman Penjara Bukan Satu-Satunya Pilihan

Dalam KUHP baru, semangat restoratif tersaji pada beberapa pasal yang mengakomodir adanya sanksi pidana alternatif selain pidana penjara. Hukuman penjara bukanlah pilihan satu-satunya dalam menghukum. Bahkan hukuman bukan lagi gairah yang harus dikedepankan. Semangat yang harus diutamakan adalah semangat Restoratif, yaitu mengembalikan keadaan korban seperti sedia kala dengan cara mendorong pelaku untuk bertanggung jawab semaksimal mungkin serta menyadari kesalahannya secara mendalam. Pasal 65 Undang–Undang KUHP baru menjelaskan bahwa pidana pokok tidak hanya pidana penjara saja, melainkan dapat juga berupa pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.

Pada awalnya, pidana penjara memang memegang peranan penting dalam mengeliminasi kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dipandang kejam. Barda Nawawi Arief (2002) dalam bukunya yang berjudul “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana” menerangkan bahwa terdapat sebuah alasan di balik mengapa negara harus bertindak tatkala terjadi kejahatan melalui penjatuhan hukuman. Hal tersebut merupakan sarana yang tepat karena mendorong negara untuk bertindak secara adil dan menghindari ketidakadilan. Hukum pidana dalam hal tersebut difungsikan sebagai mekanisme ancaman sosial dan psikis. Kaum Konsekuensialis pun kemudian berpendapat bahwa adanya pidana dibenarkan apabila pidana itu membawa kebaikan, pidana mencegah kejadian yang lebih buruk, dan tidak ada alternatif lain yang dapat memberikan hasil yang setara baik atau buruknya (Halomoan, 2020). 

Sanksi alternatif selain pidana penjara dewasa ini semakin diutamakan oleh negara–negara di Benua Eropa. Kesadaran akan restorasi pemulihan korban menjadi prioritas yang harus didahulukan oleh pelaku dengan dorongan masyarakat dan negara. Pada umumnya, negara–negara barat lebih senang menerapkan pidana denda atau sanksi administratif atau ganti rugi daripada pidana penjara. Salah satu bentuknya dapat tercermin dari Pemerintah Inggris yang melarang pengadilan menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada para pelaku tindak pidana pertama kali (first offender) kecuali tidak ada cara lain yang dianggap tepat untuk memperlakukan mereka (Halomoan, 2020).

Sudah saatnya negara kita turut berbenah. Penderaan dan penghukuman hanya akan meninggalkan luka dan dendam. Ketidakpuasan atas rasa balas dendam semakin memperparah luka yang dirasakan korban. Fokus yang harus dititikberatkan adalah mengembalikan kondisi pihak yang dirugikan sedemikian rupa hingga pulih kembali. Akan tetapi, apakah hal tersebut sudah cukup? Tentu saja tidak. Pihak pelaku pun harus disadarkan dan diarahkan hingga menyadari sepenuhnya kesalahan yang telah dilakukan serta tergerak menjadi insan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, Griya Abhipraya menjadi salah satu alternatif solusi yang dapat digunakan sebagai wadah meditasi pelanggar hukum untuk menyadari kesalahannya. Rumah pengharapan tersebut juga menjadi wadah untuk menggali lebih dalam keahlian yang dimiliki demi menata ulang kehidupannya di masa depan. 

Rumah Pengharapan sebagai Instrumen Fundamental

Nama Griya Abhipraya sejatinya masih terdengar asing di telinga awam. Meskipun demikian, Griya Abhipraya merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam penerapan sanksi pidana alternatif dalam menyongsong keadilan restoratif. Griya Abhipraya itu sendiri diambil dari Bahasa Sansekerta, yaitu “Grhya” yang berarti pemukiman/rumah dan “Abhipraya” yang berarti memiliki harapan. Dengan demikian, secara terminologi, Griya Abhipraya diartikan sebagai Rumah Pengharapan. Adapun secara filosofis, Griya Abhipraya merupakan rumah pengharapan yang diperuntukkan bagi para pelanggar hukum. Rumah harapan ini menjadi tempat untuk memperbaiki diri serta meningkatkan kapasitas dan keahlian sehingga mampu berkembang menjadi pribadi berdikari yang tidak canggung untuk berbaur dan mengabdi kepada masyarakat. 

Pada tahap awal piloting project nya, Griya Abhipraya dijadikan sebagai tempat untuk menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan klien Pemasyarakatan atau narapidana yang sedang menjalani reintegrasi sosial di tengah masyarakat. Tidak hanya sebatas peningkatan hardskill saja, lebih jauh, pemberdayaan dalam hal spiritual, pendidikan, hingga sosial kemasyarakatan juga diutamakan dalam kegiatan di rumah pengharapan. Griya Abhipraya diharapkan dapat menjadi wadah bagi klien pemasyarakatan yang belum sanggup meraih kondisi hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak.

Dalam rangka menyambut transformasi hukum pidana, eksistensi Griya Abhipraya dapat diperluas lagi menjadi wadah bagi negara dalam menyelenggarakan sanksi alternatif selain pidana penjara dalam rangka mewujudkan pelaksanaan hukum pidana yang efektif dan efisien demi mencapai tujuan pemidanaan.  Namun, terang saja bahwa penguatan Rumah Pengharapan tidak akan sanggup apabila hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Inisiasi masyarakat untuk turut terlibat memperkuat rumah pengharapan akan menjadi secercah cahaya yang merakit asa restoratif demi mewujudkan transformasi hukum pidana. Koordinasi antar instansi yang masif dan kondusif juga menjadi salah satu kunci menjaga asa restoratif. Dalam hal ini, dukungan pemerintah daerah setempat baik dari segi material maupun moral sangatlah dibutuhkan.

Dengan demikian, merakit asa restoratif menjadi tanggung jawab kita bersama oleh seluruh elemen bangsa. Griya Abhipraya menjadi instrumen fundamentalnya. Kemajuan negara cita–cita kita bersama dan transformasi hukum pidana menjadi salah satu langkah yang mendekatkan negara ini menuju masyarakat madani yang syarat dengan perdamaian dan kemakmuran. 

Daftar Referensi

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  2. Barda Nawawi Arief. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti: Bandung.
  3. Halomoan, Winro Tumpal. 2020. Penerapan Sanksi Pidana Alternatif selain Pidana Penjara terhadap Pelanggaran Administrasi dalam Tindak Pidana. Jurnal Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum. Vol.3 No. 2.