Mengenal Sistem Peradilan Pidana Anak

Mengenal Sistem Peradilan Pidana Anak

                Sejak dalam kandungan Ibu, Anak sudah mendapatkan perlindungan Spiritual, Medis, Biologis, Religi dan lain sebagainya. Setelah lahir anak disambut dengan bahagia oleh keluarganya. Sejak saat itu Anak dinafkahi, diasuh, dididik dan dijaga agar tumbuh menjadi anak yang berhasil. Negara turut melindungi Anak dimulai dari perlindungan kesehatan melalui  Layanan Jaminan Kesehatan, Sekolah gratis, beasiswa, hingga perlindungan Anak dari tindak kejahatan dan perlindungan psikoogis dan sosiologis bagi Anak yang sedang berkonflik dengan Hukum yang berusia sampai dengan 18 Tahun yang dalam tulisan ini disebuat Anak (Pelaku), anak (Korban) dan anak (Saksi).

                Semangat perlindungan anak secara formal sudah ada sejak tahun 1920an. Diawali dengan Deklarasi Jenewa (Tahun 1923) yang melahirkan pedoman tentang Hak Anak Adopsi. Konfigurasi semangat  perlindungan Anak dilanjutkan dengan dilaksanakannya Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor : 40/33 Tahun 1985  (Populer dengan sebutan Konvenan The Beijing Rules) yang melahirkan pedoman terbentuknya Administrasi Peradilan Remaja. Kemudian dilanjutkan dengan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor : 45/112 Tahun 1990  (Populer dengan sebutan Konvenan The Ryadh Guidelines) yang melahirkan pedoman Pencegahan Tindak Pidana oleh Remaja. Kemudian Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor : 45/133 Tahun 1990  (Populer dengan sebutan Konvenan Juveniles Deprived of Their Liberty) yang melahirkan pedoman tentang Perlindungan Anak yang sedang dicabut Kebebasannya dan The Tokyo Rules Tahun 1990 yang mengatur tentang Upaya Pembinaan diluar Lembaga.

                Indonesia meratifikasi konvenan Internasional tentang Perlindungan Anak diawali dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Tujuh Tahun kemudian hadir Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Regulasi ini sebagai awal modernisasi Hukum Acara bagi Anak, dimana penjatuhan hukuman bagi Anak yang melakukan tindak pidana tidak mesti berakhir pada Pidana Penjara atau penjatuhan pidana bagi Anak (Pelaku) merupakan tempat terakhir (Measure of the last Resort), melainkan menjatuhkan hukuman berupa tindakan pengembalian Anak (Pelaku) kepada orang tua atau diserahkan kepada Lembaga Sosial guna dilakukan pembinaan.

                Tentu saja pemberian tindakan seperti itu tidak diberikan dengan mudah dan serampangan akan tetapi telah melalui Penyidikan, melalui Penelitian Kemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan yang mempertimbangkan aspek sosial yuridis, melalui pemeriksaan fakta-fakta di Persidangan oleh Jaksa, Penasehat Hukum dan Hakim hingga akhirnya perkaranya dijatuhi putusan oleh Hakim. Undang-Undang Pengadilan Anak mendapatkan dukungan dengan hadirnya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Meskipun demikian regulasi ini pada pelaksanaannya tidak hanya melindungi Anak (Korban) dari kejahatan orang dewasa melainkan menjerat Anak (Pelaku) yang melakukan tindak pidana. Dalam aturan tersebut mencantumkan Hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun.

                Kemudian terjadi Konfigurasi Hukum terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Regulasi ini menyempurnakan aturan dari  pasal yang tertera pada regulasi sebelumnya. Terdapat Pasal yang mengatur tentang berlakunya Asas-Asas, yaitu: (a) pelindungan, (b) keadilan, (c) nondiskriminasi, (d) kepentingan terbaik bagi Anak, (e) penghargaan pendapat Anak, (f) kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, (g) pembinaan dan pembimbingan Anak, (h) proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan.

                Mengatur tentang Hak Anak selama dalam proses peradilan yaitu : (a) diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya, (b) dipisahkan dari orang dewasa, (c) memperoleh bantuan hukum dan bantuan secara efektif, (d) melakukan kegiatan rekreasional, (e) bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakukan yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya, (f) tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, (g) tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat, (h) memperoleh keadilan dimuka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak dan dalam sidang yang tertutup untuk umum, (i) tidak dipublikasikan identitasnya, (j) memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh Anak, (k) memperoleh advokasi sosial, (l) memperoleh kehidupan pribadi, (m) memperoleh aksesbilitas, terutama bagi Anak Cacat, (n) memperoleh pendidikan, (o) memperoleh pelayanan kesehatan, (p) memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

                 Mengatur tentang Diversi yang diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara Anak dari Proses Peradilan Pidana ke Proses diluar Peradilan Pidana. Pada saat proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara Anak di Pengadilan wajib diupayakan Diversi dengan ketentuan (a) diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun, (b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana.  Beberapa ahli pembuat Undang-Undang SPPA yang pernah berdiskusi dengan penulis mengatakan bahwa kualifikasi pasal yang ancamannya dibawah 7 tahun guna menghindari pemanfaatan Anak dalam tindak pidana yang sangat berbahaya (Extra Ordinary Crime) diatur oleh orang Dewasa/Sindikat/Organisasi terlarang dan berdampak luas. Penulis menganggap pertimbangan tersebut cukup wajar dan seimbang  dengan kebijakan penegakan hukum di Indonesia yang mengedepankan asas pengakan hukum (Law enforcement).

                Proses Diversi bertujuan untuk (a) mencapai perdamaian antara Korban dan Anak, (b) menyelesaikan perkara Anak diluar proses peradilan, (c) menghindarkan Anak dari perampasan Kemerdekaan, (d) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawa kepada Anak.  Meskipun demikian proses Diversi wajib memperhatikan : (a)  kepentingan korban, (b) kesejahteraan dan tanggung jawab anak, (c) penghindaran stigma negatif, (d) penghindaraan pembalasan, (e) keharmonisan masyarakat dan (f) kepatuhan, kesusilaan dan ketertiban umum.

                Pelaksanaan Diversi akan menghasilkan dua keputusan yaitu Diversi berhasil atau Diversi gagal. Diversi yang berhasil oleh karena pihak korban dengan sukarela tanpa paksaan pihak manapun bersedia memaafkan perbuatan Anak (Pelaku). Diversi gagal terjadi oleh karena korban tidak memaafkan perbuatan Anak (Pelaku) atau tidak ada kemampuan keluarga dari Anak (Pelaku) untuk memenuhi permintaan Keluarga Korban. Diversi yang tidak berhasil pada tingkat Kepolisian akan dilanjutkan pada tingkat Kejaksaan hingga Pengadilan. Jika pada ketiga tingkat ini Diversi tidak berhasil maka proses proses dilanjutkan pada proses Persidangan. Terhadap Diversi yang berhasil disalah satu tingkat pemeriksaan maka dilanjutkan mengajukan penetapan Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dimana perkara tersebut terjadi. Setelah penetapan Ketua Pengadilan turun dan kesepakatan Diversi sudah dilaksanakan oleh Anak (Pelaku) atau keluarganya, selanjutnya dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau Surat Perintah Penghentian Penuntutan (P-13).

                  Mengatur agar Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan Keadilan Restoratif yang berarti penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Implementasinya berupa memulihkan komunikasi antara pihak yang bersengketa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa suatu peristiwa yang terjadi biasanya konflik akan mewaris bahkan meluas oleh sebab masih adanya perasan yang terluka dari pada pihak yang berkonflik, sehingga demikian perlu adanya upaya-upaya menstabilkan keadaan. Komunikasi yang sudah pulih turut mewujudkan situasi sosial yang kondusif. Para pihak bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semua, dan bukan pembalasan. Anak (Pelaku) juga dirasang untuk belajar bertanggungjawab dengan cara-cara sederhana seperti mengakui perbuatannya, meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya secara lisan atau tulisan. Terhadap perkara yang masuk dalam Diversi apabila korban menerima permohonan maaf maka dapat dijadikan potensi untuk keberhasilan diversi. Terhadap proses perkara yang tidak masuk dalam Diversi maka penerimaan maaf pihak korban akan dijadikan salah satu hal yang meringankan saat proses persidangan.

                Kemudian Mengatur tentang pelaksanaan persidangan di Pengadilan. Anak (Pelaku) di adili oleh Hakim tunggal atau majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Pembimbing Kemasyarakatan dan Penasehat Hukum yang semuanya tidak mengenakan toga atau atribut kedinasan. Ruang sidang yang digunakan harus mewujudkan suasana ramah Anak dengan tujuan untuk menangkal rasa trauma Anak selama menjalani persidangan. Selain itu orang tua atau Wali dapat mendampingi Anak (Pelaku/Saksi/Koban) duduk disebelah Anak dan juga dapat memberikan keterangan kepada Hakim dengan ketentuan jika Hakim mempersilahkan orang tua atau Wali untuk memberikan keterangan yang dibutuhkan.

                Mengatur prinsip Peradilan cepat. Cakupan peradilan cepat adalah penerapan Penahanan yang berbeda dari Orang Dewasa atau diluar aturan KUHAP. Penahanan paling lama 15 (Lima belas) Hari pada ditingkat Penyidikan.  Selanjutnya penyidik harus segera melimpahkan perkara tersebut kepada Kejaksaan. Jaksa Penuntut Umum memiliki kewenangan melakukan Penahanan paling lama 10 (Sepuluh) hari.  Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum melimpahkan perkara kepada Pengadilan Negeri. Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan paling lama 25 (Dua Puluh Lima) hari hingga perkara tersebut dijatuhi Putusan. Penulis memiliki pengalaman saat melakukan pendampingan Anak (Pelaku) saat sidang di Pengadilan, pelaksanaan sidang dilakukan secara estafet dalam satu minggu dilakukan beberapa kali sidang hingga penjatuhan putusan oleh Hakim. Suatu keadaan yang menuntut ketepatan waktu bagi pihak yang ber-acara saat itu, karena penahanan dan penanganan perkara Anak (Pelaku) harus ada kepastian. Jika tidak ada kepastian maka penahanan Anak (Pelaku) harus dibebaskan demi hukum.

                Selanjutnya apabila putusan Hakim tidak diterima (banding) oleh Anak (Pelaku)/Keluarga/penasehat hukumnya atau tidak terima oleh Jaksa Penuntut Umum. Maka penyelesaian perkara dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi. Hakim Tinggi memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan paling lama 25 (Dua Puluh Lima) hari hingga perkara tersebut di jatuhi putusan. Selanjutnya apabila putusan Hakim pada Pengadilan Tinggi tidak juga diterima maka penyelesaian perkara dilanjutkan ke Mahkamah Agung (Kasasi). Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan paling lama 35 (Tiga Puluh Lima) hari hingga perkara tersebut di jatuhi putusan.         

                Mengatur tentang Pidana Pokok berupa : (a) pidana peringatan, (b) pidana dengan syarat berupa pembinaan diluar lembaga, pelayanan masyarakat dan pengawasan, (c) pelatihan kerja, (d) pembinaan dalam lembaga dan (e) pidana penjara. Lalu Pidana Tambahan terdiri (a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan (b) pemenuhan kewajiban adat. Penjatuhan salah satu Pidana Pokok apabila ancaman hukuman diatas 7 (tujuh) tahun.

                Mengatur tentang Tindakan berupa(a)pengembalian kepada orang tua/wali, (b) penyerahan kepada seseorang, (c) perawatan di rumah sakit jiwa, (d) perawatan di LPKS, (e) kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, (f) pencabutan Surat Izin Mengemudi, dan/atau (g) perbaikan akibat tindak pidana. Penjatuhan Tindakan apabila ancaman hukuman paling singkat 7 (tujuh) tahun.

                Mengatur terhadap Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak yaitu : (a) mendapat pengurangan masa pidana, (b) memperoleh Assimilasi, (c) memperoleh cuti mrngunjungi keluarga, (d) memperoleh pembebasan bersyarat, (e) memperoleh cuti menjelang beas, (f) memperoleh cuti bersyarat, (g) memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

————————————————————————————————————————

Dimas Dharma Setiawan, SH, MH. Pembimbing Kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan Serang. 08176595969.

Print Friendly, PDF & Email